Tuesday, July 16, 2013

ASKEP STROKE NON HEMORAGIC

A. Definisi

Gangguan peredaran darah diotak (GPDO) atau dikenal dengan CVA (Cerebro Vaskular Accident) adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu.(Harsono,1996, hal 67)
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak dan yang sering ini adalah kulminasi penyakit cerebrovaskuler selama beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)
Penyakit ini merupakan peringkat ketiga penyebab kematian di United State. Akibat stroke pada setiap tingkat umur tapi yang paling sering pada usia antara 75 – 85 tahun. (Long. C, Barbara;1996, hal 176).

B. Etiologi

Penyebab-penyebabnya antara lain:
  1. Trombosis (Bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak)
  2. Embolisme cerebral (Bekuan darah atau material lain)
  3. Iskemia (Penurunan aliran darah ke area otak)
  4. (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

C. Faktor resiko pada stroke

  1. Hipertensi
  2. Penyakit kardiovaskuler: arteria koronaria, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium, penyakit jantung kongestif)
  3. Kolesterol tinggi
  4. Obesitas (Kegemukan)
  5. Peningkatan hematokrit (Resiko infark serebral)
  6. Diabetes Melitus (Berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi)
  7. Kontrasepasi oral (Khususnya dengan disertai hipertensi, merokok, dan kadar estrogen tinggi)
  8. Penyalah gunaan obat (Kokain)
  9. Konsumsi alkohol
  10. (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

D. Manifestasi klinis

Gejala - gejala CVA muncul akibat daerah tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala itu muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu.Gejala-gejala itu antara lain bersifat:
  1. Sementara
    Timbul hanya sebentar selama beberapa menit sampai beberapa jam dan hilang sendiri dengan atau tanpa pengobatan. Hal ini disebut Transient Ischemic Attack (TIA). Serangan bisa muncul lagi dalam wujud sama, memperberat atau malah menetap.
  2. Sementara,namun lebih dari 24 jam
    Gejala timbul lebih dari 24 jam dan ini disebut Reversible Ischemic Neurologic Defisit (RIND)
  3. Gejala makin lama makin berat (Progresif)
    Hal ini desebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat yang disebut Progressing Stroke atau Stroke Inevolution
  4. Sudah menetap/permanen

  5. (Harsono,1996, hal 67)
Gangguan yang muncul tertulis pada tabel.
NO
DEFISIT NEUROLOGIK
MANIFESTASI
1.
DEFISIT LAPANG PENGLIHATAN
  1. Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang penglihatan)
  2. Kehilangan penglihatan perifer
  3. Diplopia
  1. Tidak menyadari orang/objek ditempat kehilangan peglihatan
  2. Mengabaikan salah satu sisi tubuh
  3. Kesulitan menilai jarak
  4. Kesulitan melihat pada malam hari
  5. Tidak menyadari objekatau batas objek
  6. Penglihatan ganda
2
DEFISIT MOTORIK
  1. Hemiparese
  2. Hemiplegia
  3. Ataksia
  4. Disatria
  5. Disfagia
  1. Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama
  2. Paralisis wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama
  3. Berjalan tidak mantap, tegak
  4. Tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar berdiri yang luas
  5. Kesulitan dalam membentuk kata
  6. Kesulitan dalam menelan
3.
DEFISIT SENSORI
Parestesia (terjadi pada sisi berlawanan dari lesi)
  1. Kebas dan kesemutan pada bagian tubuh
  2. Kesulitan dalam proprisepsi
4
DEFISIT VERBAL
  1. Afasia ekspresif
  2. Afasia reseptif
  3. Afasia global
  1. Ketidakmampuan menggunakan simbol berbicara
  2. Tidak mampu menyusun kata-kata yang diucapkan
  3. Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif
5.
DEFISIT KOGNITIF
  1. Kehilangan memori jangka pendek dan panjang
  2. Penurunan lapang perhatian
  3. Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi
  4. Alasan abstrak buruk
  5. Perubahan penilaian
6.
DEFISIT EMOSIONAL
  1. Kehilangan kontrol diri
  2. Labilitas emosional
  3. Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stres
  4. Menarik diri
  5. Rasa takut, bermusuhan dan marah
  6. Perasaan isolasi

E. Pathway Stroke Non Hemoragic

 

F. Pemeriksaan Penunjang

  1. CT Scan
    Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark
  2. Angiografi serebral
    membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri Pungsi Lumbal
    1. Menunjukan adanya tekanan normal
    2. Mekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan
  3. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
  4. EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
  5. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
  6. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal

  7. (DoengesE, Marilynn,2000 hal 292)

G. Penatalaksanaan

  1. Diuretika : untuk menurunkan edema serebral
  2. Anti koagulan: Mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi.

  3. (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

H. KOMPLIKASI

  1. Hipoksia Serebral
  2. Penurunan darah serebral
  3. Luasnya area cedera

  4. (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

I. Pengkajian

  1. Aktivitas dan istirahat
    1. Data Subyektif:
      1. Kesulitan dalam beraktivitas ; kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis.
      2. Mudah lelah, kesulitan istirahat (nyeri atau kejang otot)
      3. Perubahan tingkat kesadaran
      4. Perubahan tonus otot (flaksid atau spastic), paraliysis (hemiplegia), kelemahan umum.
      5. Gangguan penglihatan
  2. Sirkulasi
    1. Data Subyektif:
      1. Riwayat penyakit jantung (penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung , endokarditis bacterial), polisitemia.
    2. Data obyektif:
      1. Hipertensi arterial
      2. Disritmia, perubahan EKG
      3. Pulsasi : kemungkinan bervariasi
      4. Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
  3. Integritas ego :
    1. Data Subyektif :
      1. Perasaan tidak berdaya, hilang harapan
    2. Data obyektif :
      1. Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan, kegembiraan
      2. Kesulitan berekspresi diri
  4. Eliminasi :
    1. Data Subyektif :
      1. Inkontinensia, anuria
      2. istensi abdomen (kandung kemih sangat penuh), tidak adanya suara usus(ileus paralitik)
  5. Makan/ minum :
    1. Data Subyektif:
      1. Nafsu makan hilang
      2. Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK
      3. Kehilangan sensasi lidah, pipi, tenggorokan, disfagia
      4. Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
    2. Data obyektif :
      1. Problem dalam mengunyah (menurunnya reflek palatum dan faring)
      2. Obesitas (faktor resiko)
  6. Sensori neural :
    1. Data Subyektif :
      1. Pusing / syncope ( sebelum CVA / sementara selama TIA )
      2. Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
      3. Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti lumpuh/mati
      4. Penglihatan berkurang
      5. Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan pada muka ipsilateral (sisi yang sama)
      6. Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
    2. Data obyektif :
      1. Status mental ; koma biasanya menandai stadium perdarahan, gangguan tingkah laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan gangguan fungsi kognitif
      2. Ekstremitas : kelemahan / paraliysis (kontralateral) pada semua jenis stroke, genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam (kontralateral)
      3. Wajah: paralisis / parese (ipsilateral)
      4. Afasia (kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/kesulitan berkata kata, reseptif/kesulitan berkata kata komprehensif, global/kombinasi dari keduanya.
      5. Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimuli taktil
      6. Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
      7. Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi ipsi lateral
  7. Nyeri / kenyamanan :
    1. Data Subyektif :
      1. Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
    2. Data obyektif :
      1. Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial
  8. Respirasi :
    1. Data Subyektif :
      1. Perokok (faktor resiko)
    2. Tanda :
      1. Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas
      2. Timbulnya pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur
      3. Suara nafas terdengar ronchi/aspirasi
  9. Keamanan :
    1. Data obyektif :
      1. Mottrik/sensorik : masalah dengan penglihatan
      2. Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek, hilang kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
      3. Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali
      4. Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh
      5. Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan, berkurang kesadaran diri
  10. Interaksi sosial :
    1. Data obyektif :
      1. Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi
  11. Pengajaran / pembelajaran :
    1. Data Subjektif :
      1. Riwayat hipertensi keluarga, Stroke
      2. Penggunaan kontrasepsi oral
  12. Pertimbangan rencana pulang :
    1. Menentukan regimen medikasi / penanganan terapi
    2. Bantuan untuk transportasi, shoping , menyiapkan makanan , perawatan diri dan pekerjaan rumah
  13. (DoengesE, Marilynn,2000 hal 292)

J. Diagnosa Keperawatan

  1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan terputunya aliran darah : penyakit oklusi, perdarahan, spasme pembuluh darah serebral, edema serebral
    1. Dibuktikan oleh :
      1. Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori
      2. Perubahan respon sensorik / motorik, kegelisahan
      3. Defifit sensori, bahasa, intelektual dan emosional
      4. Perubahan tanda tanda vital
    2. Tujuan Pasien / Kriteria evaluasi :
      1. Terpelihara dan meningkatnya tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi sensori / motor
      2. Menampakan stabilisasi tanda vital dan tidak ada PTIK
      3. Peran pasien menampakan tidak adanya kemunduran / kekambuhan
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Independen :
        1. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan situasi individu/ penyebab koma / penurunan perfusi serebral dan potensial PTIK
        2. Monitor dan catat status neurologist secara teratur
        3. Monitor tanda tanda vital
        4. Evaluasi pupil: ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya
        5. Bantu untuk mengubah pandangan, misalnay pandangan kabur, perubahan lapang pandang / persepsi lapang pandang
        6. Bantu meningkatakan fungsi, termasuk bicara jika pasien mengalami gangguan fungsi
        7. Kepala dielevasikan perlahan lahan pada posisi netral .
        8. Pertahankan tirah baring, sediakan lingkungan yang tenang, atur kunjungan sesuai indikasi
      2. Kolaborasi :
        1. Berikan suplemen oksigen sesuai indikasi
        2. Berikan medikasi sesuai indikasi :
        3. Antifibrolitik, missal aminocaproic acid (amicar)
        4. Antihipertensi
        5. Vasodilator perifer, missal cyclandelate, isoxsuprine.
        6. Manitol
  2. Ketidakmampuan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuscular, ketidakmampuan dalam persespi kognitif
    1. Dibuktikan oleh :
      1. Ketidakmampuan dalam bergerak pada lingkungan fisik: kelemahan, koordinasi, keterbatasan rentang gerak sendi, penurunan kekuatan otot.
    2. Tujuan Pasien / Kriteria evaluasi :
      1. Tidak ada kontraktur, foot drop.
      2. Adanya peningkatan kemampuan fungsi perasaan atau kompensasi dari bagian tubuh
      3. Menampakan kemampuan perilaku / teknik aktivitas sebagaimana permulaanya
      4. Terpeliharanya integritas kulit
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Independen :
        1. Rubah posisi tiap dua jam (prone, supine, miring)
        2. Mulai latihan aktif / pasif rentang gerak sendi pada semua ekstremitas
        3. Topang ekstremitas pada posis fungsional , gunakan foot board pada saat selama periode paralysisi flaksid. Pertahankan kepala dalam keadaan netral
        4. Evaluasi penggunaan alat bantu pengatur posisi
        5. Bantu meningkatkan keseimbangan duduk
        6. Bantu memanipulasi untuk mempengaruhi warna kulit edema atau menormalkan sirkulasi
        7. Awasi bagian kulit diatas tonjolan tulang
      2. Kolaboratif :
        1. onsul kebagian fisioterapi
        2. Bantu dalam meberikan stimulasi elektrik
        3. Gunakan bed air atau bed khusus sesuai indikasi
  3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sirkulasi serebral, gangguan neuromuskuler, kehilangan tonus otot fasial / mulut, kelemahan umum / letih.
    1. Ditandai :
      1. Gangguan artikulasi
      2. Tidak mampu berbicara / disartria
      3. Ketidakmampuan modulasi wicara, mengenal kata, mengidentifikasi objek
      4. Ketidakmampuan berbicara atau menulis secara komprehensip
    2. Tujuan pasien / Kriteria evaluasi :
      1. Pasien mampu memahami problem komunikasi
      2. Menentukan metode komunikasi untuk berekspresi
      3. Menggunakan sumber bantuan dengan tepat
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Independen :
        1. Bantu menentukan derajat disfungsi
        2. Bedakan antara afasia denga disartria
        3. Sediakan bel khusus jika diperlukan
        4. Sediakan metode komunikasi alternatif
        5. Antisipasi dan sediakan kebutuhan paien
        6. Bicara langsung kepada pasien dengan perlahan dan jelas
        7. Bicara dengan nada normal
      2. Kolaborasi :
        1. Konsul dengan ahli terapi wicara
  4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penerimaan perubahan sensori transmisi, perpaduan (trauma / penurunan neurologi), tekanan psikologis (penyempitan lapangan persepsi disebabkan oleh kecemasan)
    1. Ditandai :
      1. Disorientasi waktu, tempat, orang
      2. Perubahan pola tingkah aku
      3. Konsentrasi jelek, perubahan proses pikir
      4. Ketidakmampuan untuk mengatakan letak organ tubuh
      5. Perubahan pola komunikasi
      6. Ketidakmampuan mengkoordinasi kemampuan motorik.
    2. Tujuan / Kriteria hasil :
      1. Dapat mempertahakan level kesadaran dan fungsi persepsi pada level biasanya.
      2. Perubahan pengetahuan dan mampu terlibat
      3. Mendemonstrasikan perilaku untuk kompensasi
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Independen :
        1. Kaji patologi kondisi individual
        2. Evaluasi penurunan visual
        3. Lakukan pendekatan dari sisi yang utuh
        4. Sederhanakan lingkungan
        5. Bantu pemahaman sensori
        6. Beri stimulasi terhadap sisa sisa rasa sentuhan
        7. Lindungi psien dari temperature yang ekstreem
        8. Pertahankan kontak mata saat berhubungan
        9. Validasi persepsi pasien
  5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuro muskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol /koordinasi otot
    1. Ditandai dengan :
      1. Kerusakan kemampuan melakukan ADL misalnya ketidakmampuan makan, mandi, memasang/melepas baju, kesulitan tugas toiletng
    2. Kriteria hasil:
      1. Melakukan aktivitas perwatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri
      2. Mengidentifikasi sumber pribadi / komunitas dalam memberikan bantuan sesuai kebutuhan
      3. Mendemonstrasikan perubahan gaya hidup untuk memenuhi kenutuhan perawatan diri
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Independen :
        1. Kaji kemampuan dantingkat kekurangan (dengan menggunakan skala 1-4) untuk melakukan kebutuhan ssehari-har
        2. Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasiensendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuha
        3. Kaji kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang kebutuhannya untuk menghindari dan atau kemampuan untuk menggunakan urinal,bedpan
        4. Identifikasi kebiasaan defekasi sebelumnya dan kembalikanpada kebiasaan pola nornal tersebut. Kadar makanan yang berserat,anjurkan untuk minum banyak dan tingkatkan aktivitas
        5. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan atau keberhasilannya.
      2. Kolaborasi :
        1. Berikan supositoria dan pelunak feses
        2. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi/okupasi
  6. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan kerusakan batuk, ketidakmampuan mengatasi lendir
    1. Kriteria hasil:
      1. Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas
      2. Ekspansi dada simetris
      3. Bunyi napas bersih saat auskultasi
      4. Tidak terdapat tanda distress pernapasan
      5. GDA dan tanda vital dalam batas normal
    2. Intervensi Keperawatan:
      1. Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi
      2. Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan memmberikan pengeluaran sekresi yang optimal
      3. Penghisapan sekresi
      4. Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam
      5. Berikan oksigenasi sesuai advis
      6. Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi
  7. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan reflek menelan turun,hilang rasa ujung lidah
    1. Ditandai dengan:
      1. Keluhan masukan makan tidak adekuat
      2. Kehilangan sensasi pengecapan
      3. Rongga mulut terinflamasi
    2. Kriteria evaluasi :
      1. Pasien dapat berpartisipasi dalam intervensi specifik untukmerangsang nafsu makan
      2. BB stabil
      3. Pasien mengungkapkan pemasukan adekuat
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Independen :
        1. Pantau masukan makanan setiap har
        2. Ukur BB setiap hari sesuai indikas
        3. Dorong pasien untukmkan diit tinggi kalori kaya nutrien sesuai progra
        4. Kontrol faktor lingkungan (bau, bising), hindari makanan terlalu manis, berlemak dan pedas. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan
        5. Identifikasi pasien yang mengalami mual muntah
      2. Kolaborasi :
        1. Pemberian anti emetik dengan jadwal reguler
        2. Vitamin A,D,E dan B6
        3. Rujuk ahli diit
        4. Pasang / pertahankan slang NGT untuk pemberian makanan enteral

  8. (DoengesE, Marilynn,2000 hal 293-305)

DAFTAR PUSTAKA

  1. Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Jilid 2, Bandung, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996
  2. Tuti Pahria, dkk, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem Persyarafan, Jakarta, EGC, 1993
  3. Pusat pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan , Jakarta, Depkes, 1996
  4. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC ,2002
  5. Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC, 2000
  6. Harsono, Buku Ajar : Neurologi Klinis,Yogyakarta, Gajah Mada university press, 1996

Sunday, July 7, 2013

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PNEUMOKONIOSIS




BAB I
PENDAHULUAN
1.  Latar Belakang

Setiap makhluk hidup memerlukan energi. Setiap makanan manusia menghasilkan energi. Energi itu berasal dari makanan. Agar sari-sari makanan itu dapat diubah menjadi enegrdi, maka makanan harus dioksidasi. Oksidasi ini berlangsung di dalam sel. Hasil oksidasi adalah energi, dan sisa oksidasi berupa karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O).
Dari persamaan ini, jelas bahwa karbondioksida dan uap air dilepas ke udara bersama hembusan napas, sedang energi sebagian berupa panas untuk memelihara suhu badan dan sebagian berupa energi yang berguna untuk melakukan kegiatan tubuh.
Pernapasan adalah suaatu proses ganda yaitu terjadinya pertukaran gas di dalam jaringan (pernasan dalam), yang terjadi di dalam paru-paru disebut pernapasan luar. Pada pernapasan melalui paru-paru atau respirasi eksternal, oksigen dihisap melalui hidung dan mulut. Pada waktu bernapas, olsigen masuk melalui batang tenggorokan atau trakea da pipa bronkhial ke alveoli, dan erat hubungannya dengan darah didalam kapiler pulmonaris.

2. Tujuan

1.     Tujuan umum

Dengan adanya pembuatan makalah ini bertujuan untuk  membuat mahasiswa berpikir kritis dan mendukung kegiatan belajar-mengajar jurusan keperawatan khususnya pada mata kuliah Keperawatan Sistem respirasi.

2.     Tujuan khusus

Agar lebih memahami tentang pengaertian pneumokoniosis
 3. Manfaat

Mendapatkan pengetahuan tentang anatomi sistem pernapasan pada manusia serta mengetahui fungsi   dari komponen sistem pernapasan.








BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Pneumokoniosis adalah penyakit paru-paru kronis yang disebabkan karena menghirup berbagai bentuk partikel debu, khususnya di tempat kerja industri, untuk jangka waktu yang lama. Hence it is also said to be an occupational lung disease, which are a particular subdivision of occupational related diseases that are related primarily to being exposed to harmful substances, whether they are gas or dusts, in the work place, and the pulmonary disorders that may result from it. Oleh karena itu juga dikatakan penyakit paru kerja, yang merupakan bagian tertentu dari penyakit terkait kerja yang terkait terutama untuk yang terkena zat berbahaya, apakah mereka gas atau debu, di tempat kerja, dan gangguan paru yang mungkin Hasil dari itu. The severity and type of pneumoconiosis depends on what the dust particles comprise of; for example, small amounts of certain substances, such as asbestos and silica, can lead to serious reactions, while others may not be as harmful. Tingkat keparahan dan jenis pneumokoniosis tergantung pada apa partikel debu terdiri dari, misalnya, sejumlah kecil zat tertentu, seperti asbes dan silika, dapat menyebabkan reaksi yang serius, sementara yang lain mungkin tidak berbahaya.

Para pneumoconiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh menghirup debu anorganik dan merupakan subset dari penyakit paru kerja, yang juga termasuk gangguan yang disebabkan oleh menghirup gas, uap, dan bahan organik.
 The many forms of pneumoconiosis have specific names, depending on the substance inhaled (Eg. silicosis, asbestosis, talcosis).Berbagai bentuk pneumokoniosis memiliki nama spesifik, tergantung pada substansi dihirup (mis. silikosis, Asbestosis, talcosis).

                          Ada pun jenis – jenis pneumoconiosis

Jenis yang paling umum pneumokoniosis adalah: pneumokoniosis pekerja Batubara ', Silikosis, Asbestosis, dan pneumoconiosis jinak. As is evident by their names, these pneumoconioses are caused due to the inhalation of coal mine dust, silica dust, and asbestos fibers. Tersebut, terbukti dengan nama mereka, pneumoconiosis ini disebabkan karena menghirup debu tambang batubara, debu silika, dan serat asbes serata menghirup debu dalam jumlah besar tapi bersifat jinak . Usually, it takes several years for these pneumoconioses to develop and manifest themselves.Biasanya, dibutuhkan waktu beberapa tahun ini pneumoconiosis untuk mengembangkan dan menampakkan diri. However, sometimes, particularly with silicosis, it can develop quite rapidly, within a short period of being exposed to large amounts of silica dust. Namun, kadang-kadang, terutama dengan silikosis, dapat berkembang cukup cepat, dalam waktu singkat sedang terkena sejumlah besar debu silika. In their severe form, pneumoconioses often result in the impairment of the lungs, disability, and even untimely death. Dalam bentuk yang parah mereka, pneumoconiosis sering mengakibatkan penurunan dari cacat, paru-paru, dan bahkan kematian sebelum waktunya.
Apart from the above mentioned pneumoconioses, there are also other kinds such as: berylliosis, due to inhaling beryllium dust; bauxite fibrosis, because of inhaling bauxite dust; siderosis, due to inhaling iron dust; byssinosis, due to inhaling cotton dust. Terlepas dari pneumoconiosis disebutkan di atas, ada juga jenis lain seperti: berylliosis, karena menghirup debu berilium, fibrosis bauksit, karena menghirup debu bauksit; siderosis, karena menghirup debu besi; byssinosis, karena menghirup debu kapas. Some of the other types of dusts that cause pneumoconiosis are: aluminum, barium, antimony, graphite, kaolin, talc, mica, and so on. Beberapa jenis lain dari debu yang pneumokoniosis menyebabkan adalah: aluminium, barium, antimon, grafit, kaolin, talk, mika, dan sebagainya. There is also a type known as mixed-dust pneumoconiosis. Ada juga jenis dikenal sebagai campuran pneumokoniosis-debu.
As far as public health is concerned, pneumoconiosis is completely a man-made disease, which can be prevented with adequate dust control and protective gear in the work place.     Sejauh kesehatan masyarakat yang bersangkutan, pneumokoniosis benar-benar penyakit buatan manusia, yang dapat dicegah dengan kontrol debu yang memadai dan alat pelindung di tempat kerja.

Given below are the descriptions of some of the common types of pneumoconiosis: Mengingat di bawah ini adalah deskripsi dari beberapa jenis umum pneumokoniosis:

1. Coal Workers' Pneumoconiosis: 
Also known as black lung disease, this is caused due to being exposed to particles of carbon from  coal, lamp black, or graphite for a prolonged period of time, and commonly occurs amongst coal miners and people who handle coal. Pekerja pneumokoniosis Batubara:
Pekerja pneumokoniosis Batubara Juga dikenal sebagai penyakit paru-paru hitam, hal ini   disebabkan karena sedang terkena partikel karbon dari batubara, lampu hitam, atau grafit untuk jangka waktu lama, dan biasanya terjadi antara penambang batu bara dan orang-orang yang menangani batubara. It is akin to the effects of smoking tobacco for a long period of time and also silicosis, caused by the inhalation of silica dust. Hal ini mirip dengan efek merokok untuk jangka panjang silikosis waktu dan juga, disebabkan oleh menghirup debu silika. When coal dust is inhaled for a long period of time, it builds up in the lungs, which the body is not able to remove. Ketika debu batu bara yang dihirup untuk jangka waktu yang lama, itu menumpuk di paru-paru, dimana tubuh tidak mampu menghapus. This results in inflammation of the lungs, which then leads to fibrosis along with nodular lesions forming in the lungs, and finally, the centers of these lesions may even become necrotic because of ischemia, causing large size cavities in the lungs. Hal ini menyebabkan radang paru-paru, yang kemudian mengakibatkan fibrosis bersama dengan lesi nodular terbentuk di paru-paru, dan akhirnya, pusat-pusat lesi ini bahkan dapat menjadi nekrotik karena iskemia, menyebabkan rongga ukuran besar di paru-paru.
While initially, this type of pneumoconiosis may occur in it milder form, referred to as anthracosis, which is usually asymptomatic, and occurs amongst people inhabiting urban areas because of air pollution, however, the more serious forms of coal workers' pneumoconiosis, such as simple coal workers' pneumoconiosis as well as complicated coal workers' pneumoconiosis occurs when a person is exposed to large amounts of carbon or coal dust. Meskipun awalnya, ini jenis pneumokoniosis mungkin terjadi di dalamnya bentuk ringan, disebut sebagai anthracosis, yang biasanya tanpa gejala, dan terjadi antara orang-orang yang mendiami daerah perkotaan karena polusi udara, namun bentuk yang lebih serius pneumokoniosis pekerja batubara, seperti 'pneumokoniosis serta pekerja batubara rumit' sederhana pneumokoniosis pekerja batubara terjadi ketika seseorang terkena sejumlah besar karbon atau debu batu bara.
Due to declining levels of dust in underground coal mines as well as the increase in opencast mining has lead to a decline of coal workers' pneumoconiosis. Karena tingkat penurunan debu di tambang batubara bawah tanah serta peningkatan pertambangan opencast telah mengakibatkan penurunan pneumokoniosis pekerja batubara.

2.   Asbestosis: 
        This is caused due to the inhalation of fibrous minerals that asbestos is made of.Asbestosis:
Hal ini disebabkan karena inhalasi mineral berserat yang terbuat dari asbes. The exposure begins with the baggers, who handle the asbestos by collecting them and packaging them, to workers that make products out of them such as insulation material, cement, and tiles, and people working in the shipbuilding industry, and construction workers. paparan dimulai dengan baggers, yang menangani asbes dengan mengumpulkan mereka dan kemasan mereka, untuk pekerja yang membuat produk dari mereka seperti bahan isolasi, semen, dan ubin, dan orang-orang bekerja di industri perkapalan, dan pekerja konstruksi. It usually takes about 20 years, or more, for the symptoms of asbestos pneumoconiosis to manifest itself. Biasanya diperlukan waktu sekitar 20 tahun, atau lebih, untuk gejala pneumokoniosis asbes untuk mewujudkan itu sendiri. Dan gambar di bawah in adalah contoh absestosis :
3.Silicosis: 
        This type of pneumoconiosis occurs in people who handle silica, generally as quartz, which is found in sandstone, sand, granite, slate, certain types of clays, and so on.     Silikosis:
pneumokoniosis jenis ini terjadi pada orang yang menangani silika, umumnya kuarsa, yang ditemukan dalam batu pasir, pasir, granit, batu tulis, beberapa jenis tanah liat, dan sebagainya. The people who have the most amount of exposure to silica are those who make glass and ceramic products, quarry workers, foundry workers, silica millers, tunnel builders, miners, and sandblasters. Orang-orang yang memiliki jumlah yang paling terkena silika adalah mereka yang membuat produk gelas dan keramik, pekerja tambang, pekerja pengecoran, pabrik silika, pembangun terowongan, penambang, dan sandblasters. Silicosis leads to fibrosis within the lungs, which increases progressively, and impairs the functioning of the lungs. Silikosis mengakibatkan fibrosis dalam paru-paru, yang semakin meningkat, dan merusak fungsi paru-paru. It is further exacerbated in people who smoke cigarettes. Hal ini diperburuk pada orang yang merokok. Di bawah ini adalah contoh gambar orang yang terkena silikosis :

4.  Pneumokoniosis Jinak (Benign Pneumoconioses)
 adalah suatu penyakit yang terjadi akibat adanya sejumlah besar debu di dalam paru-paru, yang sifatnya jinak. Debu yang terhirup adalah debu di udara yang pada proses inhalasi tertahan di paru-paru. Jumlah debu yang tertimbun tergantung kepada lamanya pemaparan, konsentrasi debu di dalam udara yang terhirup, volume udara yang dihirup setiap menitnya dan sifat pernafasannya.
Pernafasan yang lambat dan dalam, cenderung akan mengendapkan lebih banyak debu daripada pernafasan yang cepat dan dangkal.
Debu di dalam paru-paru menyebabkan suatu reaksi jaringan, yang jenis dan lokasinya bervariasi, tergantung kepada jenis debunya.

B .  PATOFISIOLOGI
Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel infektif. Partikel infeksius difiltrasi di hidung, atau terperangkap dan dibersihkan oleh mukus dan epitel bersilia di saluran napas. Bila suatu partikel (virus/bakteri) dapat mencapai paru-paru, partikel tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga dengan mekanisme imun sistemik, dan humoral. Pada saat tubuh mengalami perubahan pertahanan anatomis dan fisiologis, maka partikel infeksius tersebut dapat mencapai paru, kemudian  menyebar dan menyebabkan pneumonia. More than 40 inhaled minerals cause lung lesions and x-ray abnormalities. Lebih dari 40 mineral dihirup menyebabkan lesi paru-paru dan kelainan x-ray. Most, such as tin, barium, and iron, are relatively innocuous and accumulate in the lung in the same way as coal, but do not produce morphologic or functional abnormalities. Sebagian besar, seperti timah, barium, dan besi, relatif berbahaya dan menumpuk di paru-paru dalam cara yang sama seperti batu bara, tetapi tidak menghasilkan atau fungsional kelainan morfologi. Debu asbes masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara. Antara lain dengan mengisap debu ketika bernapas, menelannya bersama ludah dan dahak, atau mengonsumsi makanan serta minuman yang mengandung sejumlah kecil serat-serat tersebut. Sebagian serat yang tertelan diduga menembus dinding usus, tetapi migrasi selanjutnya dalam tubuh tidak diketahui. Setelah masa laten yang panjang, antara 20-40 tahun, serat tersebut bisa menimbulkan kanker paru.

C.   ETIOLOGI

     Pneumokoniosis bisa disebabkan oleh terhirupnya debu logam besi, perak/kaleng dan barium. Siderosis terjadi sebagai akibat dari terhirupnya oksida besi, baritosis terjadi karena menghirup barium dan stannosis terjadi karena terhisapnya unsur-unsur perak.
Pemaparan debu besi terjadi pada proses penambangan, penggilingan dan pemotongan logam.
Terhirupnya debu besi, perak maupun barium, menyebabkan perubahan struktur paru yang sangat ringan sehingga hanya menimbulkan sedikit gejala. Tetapi reaksi jaringan ini bisa terlihat pada rontgen dada sebagai sejumlah besar daerah-daerah kecil yang tidak tembus cahaya.
Selama proses inspirasi (menghirup udara), partikel debu di udara yang memiliki garis tengah lebih dari 10 mm, disaring oleh bulu-bulu di hidung. Partikel debu lainnya, yang masuk melalui mulut, disimpan di dalam saluran pernafasan bagian atas.
Partikel debu yang berdiameter 5-10 mm, cenderung akan tinggal di dalam lendir yang menyelimuti bronkus dan bronkiolus, kemudian disapu ke arah tenggorokan oleh rambut-rambut lembut (silia). Dari tenggorokan mereka akan dibatukkan atau dibuang, tetapi beberapa diantaranya ada yang tertelan.
Partikel berdiameter kurang dari 5 mm, lebih mudah mencapai jaringan paru-paru.

D.     Tanda Dan Gejala

Dalam bentuk yang lebih ringan, pneumokoniosis mungkin tidak memiliki gejala apapun. However, when the symptoms do develop, they may be:Namun, ketika gejala itu berkembang, mereka mungkin:
·       Shortness of breath, particularly on exertion Sesak napas, terutama pada saat tenaga di pakai
·       Wheezing Mengi
·       Chronic coughing, which may or may not be accompanied by mucus Batuk kronis, yang mungkin atau mungkin tidak disertai dengan lendir
If there is severe fibrosis of the lungs, it can become extremely difficult to breathe, and when this occurs, it may lead to the fingernails and lips getting a bluish tinge. Jika ada fibrosis parah dari paru-paru, dapat menjadi sangat sulit untuk bernafas, dan ketika ini terjadi, mungkin menyebabkan kaku dan bibir mendapatkan semburat kebiruan. In the advanced form of pneumoconiosis, there may also be swelling in the legs due to excessive strain on the heart. Dalam bentuk lanjutan dari pneumokoniosis, ada mungkin juga pembengkakan pada kaki akibat regangan berlebihan pada jantung.
Meskipun debu dari logam tersebut tampak jelas pada foto dada, tetapi tidak menimbulkan banyak reaksi di paru-paru sehingga tidak timbul gejala maupun gangguan fungsi paru.


E.   MANIFESTASI KLINIS

a.    Dispnea,pada pasien yang mengalami dispnea menjadi buruk serta progresif
b.  Pneumoconiosis umumnya Batuk nonproduktif kecuali apabila terjadi bronchitis      kronis
c.  Restriksi hebat volume inspirasi serta nadi cepat dan bersambung
d. Dapat terjadi sianosis akibat penurunan ventilasi disertai penurunan kecepatan difusi

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

          Pemeriksaan  penunjang  yang  penting  untuk  menegakkan diagnosis  dan  menilai  kerusakan  paru      akibat  debu  adalah :
1.          1.  Pemeriksaan  Radiologis
Pemeriksaan foto thorax sangat berguna untuk melihatkelainan  yang  ditimbulkan  oleh debu  pada             Pneumokoniosis.Klasifikasi Standar menurut ILO dipakai untuk menilai kelainan yangtimbul.                  Pembacaan foto Thorax pneumokoniosis perlu dibandingkan, dengan foto standar untuk menentukan klasifikasi kelainan. Kualitas foto harus baik atau dapat diterima untuk dapat menginterpretasikan kelainan paru lewat foto Rontgen

2.   Pemeriksaan  Faal  Paru  dengan Spirometri
        Pemeriksaan faal paru yang sederhana, cukup sensitif danbersifat reprodusibel serta digunakan secara luas adalahPemeriksaan Kapasitas Vital Paru dan Volume Ekspirasi Paksa padadetik pertama.Selain berguna untuk menunjang diagnosis jugaperlu  untuk  melihat  laju penyakit,  efektivitas pengobatan danmenilai prognosis.Pemeriksaan sebelum seseorang bekerja danpemeriksaan  berkala  setelah  bekerja  dapat  mengidentifikasipenyakit dan perkembangannya, pada pekerja yang sebelumnya tidak  memiliki gejal.

3.   Pemeriksaan penunjang lain yang bisa digunakan untuk keperluanpenegakan diagnosis adalah CT Scan , Broncho Alveolar  Lavage ( BAL ) dan Biopsi paru.

G. PENATALAKSANAAN

a. Pengobatan ditujukan untuk mengurangi parmasalahan lebih lanjut dan factor aktif lain,             seperti merokok
b.  Pencegahan dan pengobatan untuk komplikasi misalnya pneumonia dengan antibiotic juga perlu dilakukan.
c.  Penekanan debu dengan pengendalian teknis dimana Pekerja harus memakai masker, tutup kepala bertekanan.
d.  Pemberian oksigen jika terjadi komplikasi lebih lanjut.
e.  Bila terjadi gagal nafas, berikan nutrisi dengan kalori yang cukup.






















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PNEUMOCONIOSIS
1.    1.Pengkajian Data Dasar

1.     Data yang perlu  di kaji :

a.       Identitas klien meliputi ( Nama, umur, alamat, agama, dan jenis kelamin )
b.      Keluhan utama atau alas an
c.       Riwayat keluarga
d.      Pola aktivitas
e.       Mekanisme koping
f.       Pengetahuan

2.     Kaji faktor – faktor yang menyebapkan pneumoconiosis :

Ø  Faktor - factor pencetus :

a.       Allergen (serbuk, debu, kulit, serbuk sari atau jamur)
b.      Stress emosional
c.       Aktivitas fisik yang berlebihan
d.      Polusi udara
e.       Infeksi saluran nafas
f.       Kegagalan program pengobatan yang dianjurkan

Ø  Faktor – faktor penunjang :
                  a.   Merokok produk tembakau sebagai factor penyebab utama
    b.   Tinggal atau bekerja daerah dengan polusi udara berat
    c.   Riwayat alergi pada keluarga
3.     Pemeriksaan fisik berdasarkan focus pada system pernafasan yang meliputi :

a.     Kaji frekuensi dan irama pernafasan
b.    Inpeksi warna kulit dan warna menbran mukosa
c.     Auskultasi bunyi nafas
d.    Pastikan bila pasien menggunakan otot-otot aksesori bila bernafas :
1.   Mengangkat bahu pada saat bernafas
2.   Retraksi otot-otot abdomen pada saat bernafas
3.   Pernafasan cuping hidung
4.   Kaji bila ekspansi dada simetris atau asimetris
5.   Kaji bila nyeri dada pada pernafasan
6.   Kaji batuk (apakah produktif atau nonproduktif). Bila produktif tentukan warna sputum.
7.   Tentukan bila pasien mengalami dispneu atau orthopneu
8.   Kaji tingkat kesadaran.

4.     Pemeriksaan diagnostik meliputi :

a.     Gas darah arteri (GDA) menunjukkan PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi
b.    Sinar X dada memunjukkan peningkatan kapasitas paru dan volume cadangan
c.     Klutur sputum positif bila ada infeksi
d.    Esei imunoglobolin menunjukkan adanya peningkatan IgE serum
e.    Tes fungsi paru untuk mengetahui penyebab dispneu dan menentukan apakah fungsi abnormal paru ( obstruksi atau restriksi).
f.     Tes hemoglobolin.
g.    EKG ( peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF dan aksis vertikal.

5.     Kaji persepsi diri pasien

      Cara pengkajian persepsi pneumoconiosis :
a.       Deskriptif verbal tentang penyakit pneumoconiosis.
b.      Informasi yang di perlukan harus mengambarkan pneumoconiosis individual.

2.  2. Diagnosa Keperawatan
           
     Beberapa diagnose keperawatan yang mungkin muncul pada pasien pneumoconiosis :
1.    Tak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret atau sekresi kental.
2.    Ansietas berhubungan dengan sulit bernafas dan ketakutan akan sufokasi
3.    Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan batuk, ketidakmampuan melakukan   posisi terlentang, rangsang lingkungan
4.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan hilangnya nafsu makan dan mual muntah
5.    Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
6.    Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan proses penyakit kronis
7.    Nyeri berhubungan dengan inflamasi parenkim paru
8.    Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan Kesalahan interpretasi
9.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
10. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan demam, berkeringat, muntah
       3. Rencana Keperawatan
            Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen Dan Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan Kesalahan interpretasi
Tujuan :
-          Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas
-          Menyatakan pemahaman kondisi,proses penyakit dan pengobatan


Kriteria hasil :
-   Tidak adanya dispnea, kelemahan dan tanda vital dalam rentang normal.
-   Melakukan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan







      
NO
INTERVENSI
RASIONAL
1.



2.



3.




4.


5.
   Kaji fungsi normal paru,patologi kondisi



Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.
     

 Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal
     


Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif / latihan pernafasan

Identifikasi tanda/gejala yang memerlukan pelaporan pemberian perawatan kesehatan.




-       Meningkatkan pemahaman situasi yang ada dan penting dengan program pengobatan

-       Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

-      Kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk mengasimilasi informasi atau mengikuti program medic

-       Setelah pulang, pasien berisiko besar untuk kambuh.

-       Upaya evaluasi dan intervensi tepat waktu dapat mencegah/meminimalkan komplikasi.