Wednesday, July 3, 2013

ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA BILIER



ASUHAN KEPERAWATAN
ATRESIA BILIER








SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM
TAHUN AJARAN 2012/2013

KATA PENGANTAR
            Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat-Nya yang telah diberikan pada kami, sehingga makalah “Askep Atresia Bilier” ini dapat disusun dengan cermat dan dapat diselesaikan pada waktunya. Tidak lupa pula, dalam kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terima kasih pada teman-teman yang membantu penyusunan makalah ini dan terutama kami ucapkan terima kasih pada dosen fasilitator yang telah memberikan kami waktu untuk menyelesaikan makalah ini agar persentasi dapat dilakukan dengan optimal nantinya.
            Kami penyusun, menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak jauh dari kesalahan serta kekurangan, dan kami akan berusaha memperbaikinya untuk proses pembelajaran kami. Dan tentunya, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun, agar kami dapat memperbaiki kekurangan dan dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.
            Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah yang kami susun dapat dimanfaatkan dengan optimal untuk menunjang kemandirian mahasiswa dalam proses pembelajaran.

Mataram ,15 Mei 2013


                                                                                                           Penyusun





BAB I
PENDAHULUAN

1.       Latar belakang

Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Tindakan operatif atau bedah dapat dilakukan untuk penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80% - 90% bayi dengan atresia biliaris ekstrahepatik yang menjalani pembedahan ketika usianya kurang dari 10 minggu dapat dicapai drainase getah empedu (Halamek dan Stevenson, 1997). Meski demikian, sirosis yang progresif tetap terjadi pada anak, dan sampai 80% - 90% kasus pada akhirnya akan memerlukan transplantasi hati (Andres, 1996).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dalam 10.000 kelahiran hidup dan 1 dalam 25.000 kelahiran hidup. Tampaknya tidak terdapat predileksi rasial atau genetik kendati ditemukan predominasi wanita sebesar 1,4:1 (McEvoy dan Suchy, 1996; Whitington, 1996). Di Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000 kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas tercatat 6.5 dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari 100.000 kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di Jepang menderita atresia bilier. Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier di dapatkan pada ras Kaukasia  (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Walau jarang namun jumlah penderita atresia bilier yang ditangani RS. Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J, 2010).

Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun di luar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan terjadi ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal atau sampai terjadi kematian.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai) akan menurun bila dilakukan setelah umur 2 bulan. Bagi penderita atresia bilier prosedur yang baik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Selain itu, terdapat beberapa intervensi  keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera sesudah pembedahan portoenterostomi, asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang benar, termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus mungkin menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam atau memotong kuku jari-jari tangan (Donna L. Wong, 2008).












BAB II
Tinjauan Teori
  1. Pengertian
Atresia biliaris adalah kelainan konginetal yang ditandai dengan obstruksi atau tidak adanya duktus atau saluran empedu.
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
Atresia Bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/ saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi kongenital, yang berarti terjadi saat kelahiran. (http://pilihsehat.tk/.2010)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian. ( Chandrasoma & Taylor,2005)
2.      Etiologi
1.      Belum diketahui secara pasti
2. Diduga kelainan congenital
3. Didapat dari proses-proses peradangan
4. Kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine



3.      Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia bilier tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir (Halamek dan Stefien Soen, 1997). Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi pada akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak (Parakrama, 2005).












Pathway
4.      Manifestasi klinis
Neonatus yang menderita obstruksi intra maupun ekstra hepatik menunjukan ikterus, urin berwarna kuning gelap, tinja berwana dempul dan hepatomegali.
Apabila penyakit berlanjut maka akan timbul sirosis hepatis dengan hipertensi portal yang menyebabkan perdarahan varises esofagus dan kegagalan fungsi hati. Bayi  dapat meninggal karena gagal hati, perdarahan varises, koagulopati maupun infeksi skunder.
5.      Komplikasi
1. Cirosis hepatis
2. Gagal hati
3. Gagal tumbuh
4. Hipertensi portal
5. Varises Esophagus
6. Asites
6.      Penatalaksanaan
Atresia bilier biasanya memerlukan pembedahan ketika anak masih bayi, dengan menggunakan prosedur kasai, caranya ahli bedah membuang duktus eksterna hepatik yang tidak berfungsi lagi dan menganastomosis sebuah duktus pengganti(biasanya jejeunum). Prosedur ini tidak memiliki angka keberhasilan jangka panjang yang tinggi, akibatnya kerusakan hati cenderung berlanjut. Suatu alternatif dari proseedur kasai yaitu dengan transpaltasi hati, kadang-kadang berhasil dalam mengatasi atresia. Namun cara ini dapat mengakibatkan beberapa komplikasi, termasuk hemoragi, penolakan organ juga kematian.
7.      Pemeriksaan diagnostic
1. Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time, partial thromboplastin time.
2. Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
3. Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja / stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
4. Biopsi hati : untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan jaringan hati.


























BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1.1        PENGKAJIAN
a.       Biodata : Usia bayi, jenis kelamin
b.      Keluhan utama : jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan
c.       Riwayat penyakit dahulu : apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella
d.      Riwayat penyakit sekarang : jaundice, tinja warna pucat, distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus, bayi tidak mau minum, letargi
e.       Pemeriksaan Fisik
1.      BI : sesak nafas, RR meningkat
2.      B2: takikardi, berkeringat, kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K)
3.      B3: gelisah atau rewel
4.      B4: urine warna gelap dan pekat
5.      B5: distensi abdomen, kaku pada kuadran kanan, asites, feses warna pucat, anoreksia, mual, muntah, regurgitasi berulang, berat badan menurun, lingkar perut 52 cm
6.      B6: ikterik pada sclera kulit dan membrane mukosa, kulit berkeringat dan gatal(pruritus), oedem perifer, kerusakan kulit, otot lemah

1.2        Diagnosa Keperawatan
1.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan absorbsi nutrient yang buruk, mual muntah
2.      Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah
3.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan dtandai dengan adanya pruritus
4.      Risiko perubahan pertumbuhan dan perkembangan (gagal tumbuh) berhubungan dengan penyakit kronis
5.      Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen




1.3        Intervensi Keperawatan
DX
Tujuan
Tindakan
Rasional
I
Bayi akan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit yang ditandai dengan pengisian kembali dengan kapiler kurang dari 3 detik, turgor kulit baik, produksi urine 1-2ml/kgBB/jam
ü  Memantau asupan dan cairan bayi perjam(cairan infuse, susu per NGT, atau jumlah ASI yang diberikan, (timbang popok)

ü  Periksa feses tiap hari







ü  Memantau lingkar perut bayi setiap hari

ü  Observasi tanda-tanda dehidrasi (oliguria, kuilt kering, turgor kulit buruk, ubun-ubun dan mata cekung

ü  Kolaborasi untuk pemeriksaan elektrolit, kadar protein total, albumin, nitrogen urea darah dan kreatinin serta darah lengkap
ü  Memungkinan evaluasi keseimbangan cairan bayi dan tindakan lebih lanjut


ü  Mengetahui kadar PH feces untuk menentukan absorbsi lemak dan karbohidrat bayi. (PH normal 7-7,5)

ü  Untuk mendeteksi asites


ü  Tanda dehidrasi mengindikasikan intervensi segera dalam mengatasai kekurangan cairan pada bayi

ü  Mengevaluasi keseimbangan dan elektrolit




II
























III
Bayi akan menunjukkan peningkatan berat badan progresif mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal






















Bayi akan mempertahankan kelembapan kulit yang ditandai dengan kulit tidak kering, tidak ada pruritus, jaringan kulit utuh dan bebas lecet
ü  Ukur masukan diet harian (MCT)




ü  Timbang sesuai indikasi. Bandingkan perubahan status cairan, riwatyat berat badan




ü  Berikan perawatan mulut sering







ü  Mandikan dengan air hangat sehari dua kali dan di olesi baby cream


ü  Pertahankan sprei kering dan bersih



ü  Rubah posisi tidur sesuai jadwal







ü  Gunting kuku jari hingga pendek, berikan sarung tangan bila memungkinkan

ü  Berikan obat sesuai indikasi (antihistamin)
ü  Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan/defisiensi

ü  Mungkin sulit untuk menggunakan berat badan sebagai indicator langsung status nutrisi karena ada gambaran edema/asites

ü  Pasien cenderung mengalami luka/perdarahan gusi dan rasa tak enak pada mulut dimana menambah anoreksia

ü  Mencegah kulit kering berlebihan dan memberikan penghilang rasa gatal

ü  Kelembapan meningkatkan pruritus dan resiko kerusakan kulit

ü  Pengubahan posisi menurunkan tekanan pada jaringan dan untuk memperbaiki sirkulasi

ü  Mencegah dari cidera tambahan pada kulit khususnya bila tidur

ü  Antihistamin dapat mengurangi rasa gatal
IV
Bayi akan bertumbuh dan berkembang secara normal yang ditandai dengan mencapai tahap pertumbuhan dan perkembangan yang sesuai
ü  Berikan stimulus pada bayi yang menekankan pencapaian keterampilan motorik kasar





ü  Jelaskan pada orangtua bahwa bayi mereka dapat saja  tidak mencapai tahap-tahap penting perkembangan dengan kecepatan yang sama seperti pada bayi sehat


ü  Sedapat mungkin lakukan intervensi secara berkelompok
ü  Stimulasi bayi yang terencana membantu tahap-tahap penting dalam perkembangan dan membantu orangtua memiliki ikatan dengan bayi

ü  Dapat menghilangkan stress pada orangtua yang menghadapi masalah dan memberikan informasi penting tentang cara-cara menstimulasi perkembangan

ü  Mengelompokkan intervensi memungkinkan bayi beristirahat tanpa gangguan, istirahat diperlukan untuk tahap tumbuh kembang bayi
V
Bayi akan mempertahankan pola nafas efektif, bebas dispneu dan sianosis, dengan nilai GDA dan kapasitas vital dalam rentang normal
ü  Awasi frekuensi, kedalaman, dan upaya pernafasan






ü  Auskultasi bunyi nafas krekles, mengi dan ronchi







ü  Observasi perubahan tingkat kesadaran


ü  Berikan posisi kepala bayi lebih tinggi



ü  Berikan tambahan O2 sesuai indikasi

ü  Kolaborasi untuk pemeriksaan GDA
ü Pernafasan dangkal, cepat/dispneu mungkin ada hubungan hipoksia atau akumulasi cairan dalam abdomen

ü Menunjukan terjadinya komplikasi (contoh adanya bunyi tambahan menunjukan akumulasi cairan/sekresi) meningkatkan resiko infeksi
ü Perubahan mental dapat menunjukkan hipoksia dan gagal nafas

ü Memudahkan pernafasan dengan menurunkan tekanan pada diagfragma

ü Untuk mencegah hipoksia

ü  Mengetahui perubahan status pernafasan dan terjadinya komplikasi paru








DAFTAR PUSTAKA
1.      Newman, W.A. Dorland. 2002. Kamus Kedoteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EG
2.      Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EG
3.      Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta : EGC
4.      DSA Gulton, Eric. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak jilid I. Jakarta : Binarupa Aksara
5.      Ringoringo, Parlin. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: RS Dr. Cipto Mangunkusumo
6.      R. Taylor, Clive dan Candrasuma Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi Edisi 2. Jakarta : EGC

No comments:

Post a Comment