ASUHAN KEPERAWATAN
ATRESIA BILIER
SEKOLAH
TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM
TAHUN
AJARAN 2012/2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT,
karena atas rahmat-Nya yang telah
diberikan pada kami, sehingga makalah “Askep
Atresia Bilier” ini dapat disusun dengan cermat dan dapat
diselesaikan pada waktunya. Tidak lupa pula, dalam kesempatan ini, kami
mengucapkan banyak terima kasih pada teman-teman yang membantu penyusunan makalah
ini dan terutama kami ucapkan terima kasih pada dosen fasilitator yang telah
memberikan kami waktu untuk menyelesaikan makalah ini agar persentasi dapat
dilakukan dengan optimal
nantinya.
Kami penyusun, menyadari bahwa penulisan makalah
ini tidak jauh dari kesalahan serta kekurangan, dan kami akan berusaha
memperbaikinya untuk proses pembelajaran kami. Dan tentunya, kami mengharapkan
saran dan kritik yang membangun, agar kami dapat memperbaiki kekurangan dan
dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah yang kami susun dapat
dimanfaatkan dengan optimal untuk menunjang kemandirian mahasiswa dalam proses
pembelajaran.
Mataram ,15 Mei 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang
menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga
pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008).
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan
yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik
sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Tindakan operatif atau bedah dapat
dilakukan untuk penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80% - 90% bayi dengan
atresia biliaris ekstrahepatik yang menjalani pembedahan ketika usianya kurang
dari 10 minggu dapat dicapai drainase getah empedu (Halamek dan Stevenson,
1997). Meski demikian, sirosis yang progresif tetap terjadi pada anak, dan
sampai 80% - 90% kasus pada akhirnya akan memerlukan transplantasi hati
(Andres, 1996).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dalam 10.000
kelahiran hidup dan 1 dalam 25.000 kelahiran hidup. Tampaknya tidak terdapat
predileksi rasial atau genetik kendati ditemukan predominasi wanita sebesar
1,4:1 (McEvoy dan Suchy, 1996; Whitington, 1996). Di Belanda, dilaporkan kasus
atresia bilier sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari
100.000 kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup.
Di Texas tercatat 6.5 dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran
hidup di Australia, 7,4 dari 100.000 kelahiran hidup di USA dan dilaporkan
terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di Jepang menderita atresia bilier.
Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia
bilier di dapatkan pada ras Kaukasia
(62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian
amerika (1,5%). Walau jarang namun jumlah penderita atresia bilier yang
ditangani RS. Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003 tercatat mencapai
37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi
hati. Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan
dari 19.270 penderita rawat inap di Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita
dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan 9 (9,4%) menderita
atresia bilier ( Widodo J, 2010).
Pada atresia bilier terjadi
penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Atresia bilier terjadi
karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun di luar
hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak
diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain
itu akan terjadi ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat tingginya kadar
bilirubin dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis
hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal atau sampai terjadi
kematian.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat
penting sebab efikasi pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai) akan
menurun bila dilakukan setelah umur 2 bulan. Bagi penderita atresia bilier
prosedur yang baik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke
usus. Selain itu, terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang
menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana
penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus
disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera sesudah pembedahan
portoenterostomi, asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada
setiap pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi
pemberian obat dan terapi gizi yang benar, termasuk penggunaan formula khusus,
suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral.
Pruritus mungkin menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat
atau tindakan seperti mandi rendam atau memotong kuku jari-jari tangan (Donna
L. Wong, 2008).
BAB II
Tinjauan Teori
- Pengertian
Atresia biliaris adalah kelainan
konginetal yang ditandai dengan obstruksi atau tidak adanya duktus atau saluran
empedu.
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan
hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada
ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu
komponen atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin,
menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis
empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi
hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
Atresia Bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan
di dalam pipa/ saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver
menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi kongenital, yang
berarti terjadi saat kelahiran. (http://pilihsehat.tk/.2010)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada
korda epitel yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa
menyeluruh atau sebagian. ( Chandrasoma & Taylor,2005)
2. Etiologi
1.
Belum diketahui secara pasti
2. Diduga kelainan congenital
3. Didapat dari proses-proses peradangan
4. Kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine
2. Diduga kelainan congenital
3. Didapat dari proses-proses peradangan
4. Kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine
3. Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia
bilier tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau viral injurio bertanggung
jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai
laporan menunjukkan bahwa atresia bilier tidak terlihat pada janin, bayi yang
baru lahir (Halamek dan Stefien Soen, 1997). Keadaan ini menunjukan bahwa
atresia bilier terjadi pada akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan
bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi
terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran
empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu
ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar hati, kantung
empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati,
bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus
hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus
hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah
terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi bilier menyebabkan
akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga menimbulkan gejala pruritus pada
kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K
tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan
gagal tumbuh pada anak (Parakrama, 2005).
Pathway
4. Manifestasi
klinis
Neonatus yang menderita obstruksi intra
maupun ekstra hepatik menunjukan ikterus, urin berwarna kuning gelap, tinja
berwana dempul dan hepatomegali.
Apabila penyakit berlanjut maka akan timbul sirosis
hepatis dengan hipertensi portal yang menyebabkan perdarahan varises esofagus
dan kegagalan fungsi hati. Bayi dapat meninggal karena gagal hati, perdarahan
varises, koagulopati maupun infeksi skunder.
5. Komplikasi
1. Cirosis hepatis
2. Gagal hati
3. Gagal tumbuh
4. Hipertensi portal
5. Varises Esophagus
6. Asites
2. Gagal hati
3. Gagal tumbuh
4. Hipertensi portal
5. Varises Esophagus
6. Asites
6. Penatalaksanaan
Atresia bilier biasanya memerlukan
pembedahan ketika anak masih bayi, dengan menggunakan prosedur kasai, caranya
ahli bedah membuang duktus eksterna hepatik yang tidak berfungsi lagi dan
menganastomosis sebuah duktus pengganti(biasanya jejeunum). Prosedur ini tidak
memiliki angka keberhasilan jangka panjang yang tinggi, akibatnya kerusakan
hati cenderung berlanjut. Suatu alternatif dari proseedur kasai yaitu dengan
transpaltasi hati, kadang-kadang berhasil dalam mengatasi atresia. Namun cara
ini dapat mengakibatkan beberapa komplikasi, termasuk hemoragi, penolakan organ
juga kematian.
7. Pemeriksaan
diagnostic
1. Fungsi hati : bilirubin,
aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time, partial thromboplastin
time.
2. Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
3. Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja / stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
4. Biopsi hati : untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan jaringan hati.
2. Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
3. Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja / stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
4. Biopsi hati : untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan jaringan hati.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1.1
PENGKAJIAN
a.
Biodata : Usia bayi, jenis kelamin
b.
Keluhan utama : jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan
c.
Riwayat penyakit dahulu : apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella
d.
Riwayat penyakit sekarang : jaundice, tinja warna pucat, distensi abdomen,
hepatomegali, lemah, pruritus, bayi tidak mau minum, letargi
e.
Pemeriksaan Fisik
1. BI : sesak nafas, RR
meningkat
2. B2: takikardi, berkeringat,
kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K)
3. B3: gelisah atau rewel
4. B4: urine warna gelap dan
pekat
5. B5: distensi abdomen, kaku
pada kuadran kanan, asites, feses warna pucat, anoreksia, mual, muntah,
regurgitasi berulang, berat badan menurun, lingkar perut 52 cm
6. B6: ikterik pada sclera
kulit dan membrane mukosa, kulit berkeringat dan gatal(pruritus), oedem
perifer, kerusakan kulit, otot lemah
1.2
Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan
berhubungan dengan absorbsi nutrient yang buruk, mual muntah
2. Gangguan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah
3. Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan dtandai dengan adanya
pruritus
4. Risiko perubahan
pertumbuhan dan perkembangan (gagal tumbuh) berhubungan dengan penyakit kronis
5. Risiko ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
1.3
Intervensi Keperawatan
DX
|
Tujuan
|
Tindakan
|
Rasional
|
I
|
Bayi akan mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang ditandai dengan pengisian kembali
dengan kapiler kurang dari 3 detik, turgor kulit baik, produksi urine
1-2ml/kgBB/jam
|
ü Memantau asupan dan cairan bayi perjam(cairan infuse, susu
per NGT, atau jumlah ASI yang diberikan, (timbang popok)
ü Periksa feses tiap hari
ü Memantau lingkar perut bayi setiap hari
ü Observasi tanda-tanda dehidrasi (oliguria, kuilt kering,
turgor kulit buruk, ubun-ubun dan mata cekung
ü Kolaborasi untuk pemeriksaan elektrolit, kadar protein
total, albumin, nitrogen urea darah dan kreatinin serta darah lengkap
|
ü Memungkinan evaluasi keseimbangan cairan bayi dan tindakan
lebih lanjut
ü Mengetahui kadar PH feces untuk menentukan absorbsi lemak
dan karbohidrat bayi. (PH normal 7-7,5)
ü Untuk mendeteksi asites
ü Tanda dehidrasi mengindikasikan intervensi segera dalam
mengatasai kekurangan cairan pada bayi
ü Mengevaluasi keseimbangan dan elektrolit
|
II
III
|
Bayi
akan menunjukkan peningkatan berat badan progresif mencapai tujuan dengan
nilai laboratorium normal
Bayi
akan mempertahankan kelembapan kulit yang ditandai dengan kulit tidak kering,
tidak ada pruritus, jaringan kulit utuh dan bebas lecet
|
ü Ukur masukan diet harian (MCT)
ü Timbang sesuai indikasi. Bandingkan perubahan status
cairan, riwatyat berat badan
ü Berikan perawatan mulut sering
ü Mandikan dengan air hangat sehari dua kali dan di olesi
baby cream
ü Pertahankan sprei kering dan bersih
ü Rubah posisi tidur sesuai jadwal
ü Gunting kuku jari hingga pendek, berikan sarung tangan
bila memungkinkan
ü Berikan obat sesuai indikasi (antihistamin)
|
ü Memberikan informasi tentang kebutuhan
pemasukan/defisiensi
ü Mungkin sulit untuk menggunakan berat badan sebagai
indicator langsung status nutrisi karena ada gambaran edema/asites
ü Pasien cenderung mengalami luka/perdarahan gusi dan rasa
tak enak pada mulut dimana menambah anoreksia
ü Mencegah kulit kering berlebihan dan memberikan penghilang
rasa gatal
ü Kelembapan meningkatkan pruritus dan resiko kerusakan
kulit
ü Pengubahan posisi menurunkan tekanan pada jaringan dan
untuk memperbaiki sirkulasi
ü Mencegah dari cidera tambahan pada kulit khususnya bila
tidur
ü Antihistamin dapat mengurangi rasa gatal
|
IV
|
Bayi
akan bertumbuh dan berkembang secara normal yang ditandai dengan mencapai
tahap pertumbuhan dan perkembangan yang sesuai
|
ü Berikan stimulus pada bayi yang menekankan pencapaian
keterampilan motorik kasar
ü Jelaskan pada orangtua bahwa bayi mereka dapat saja tidak mencapai tahap-tahap penting
perkembangan dengan kecepatan yang sama seperti pada bayi sehat
ü Sedapat mungkin lakukan intervensi secara berkelompok
|
ü Stimulasi bayi yang terencana membantu tahap-tahap penting
dalam perkembangan dan membantu orangtua memiliki ikatan dengan bayi
ü Dapat menghilangkan stress pada orangtua yang menghadapi
masalah dan memberikan informasi penting tentang cara-cara menstimulasi
perkembangan
ü Mengelompokkan intervensi memungkinkan bayi beristirahat
tanpa gangguan, istirahat diperlukan untuk tahap tumbuh kembang bayi
|
V
|
Bayi
akan mempertahankan pola nafas efektif, bebas dispneu dan sianosis, dengan
nilai GDA dan kapasitas vital dalam rentang normal
|
ü Awasi frekuensi, kedalaman, dan upaya pernafasan
ü Auskultasi bunyi nafas krekles, mengi dan ronchi
ü Observasi perubahan tingkat kesadaran
ü Berikan posisi kepala bayi lebih tinggi
ü Berikan tambahan O2 sesuai indikasi
ü Kolaborasi untuk pemeriksaan GDA
|
ü Pernafasan dangkal, cepat/dispneu mungkin ada hubungan
hipoksia atau akumulasi cairan dalam abdomen
ü Menunjukan terjadinya komplikasi (contoh adanya bunyi
tambahan menunjukan akumulasi cairan/sekresi) meningkatkan resiko infeksi
ü Perubahan mental dapat menunjukkan hipoksia dan gagal
nafas
ü Memudahkan pernafasan dengan menurunkan tekanan pada
diagfragma
ü Untuk mencegah hipoksia
ü Mengetahui perubahan status pernafasan dan terjadinya
komplikasi paru
|
DAFTAR PUSTAKA
1.
Newman, W.A. Dorland. 2002. Kamus Kedoteran Dorland
Edisi 29. Jakarta: EG
2.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.
Edisi 4. Jakarta : EG
3.
Doenges,
Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta : EGC
4.
DSA
Gulton, Eric. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak jilid I. Jakarta : Binarupa Aksara
5.
Ringoringo,
Parlin. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: RS Dr. Cipto Mangunkusumo
6.
R.
Taylor, Clive dan Candrasuma Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi Edisi
2. Jakarta : EGC
No comments:
Post a Comment